Tatapan mataku jatuh tepat
diretina matamu. Tiga puluh detik saling bertatap pandang, entah mengapa aku
tiba-tiba saja memiliki kekuatan untuk menatap matamu. Aku menabur senyum, kau
membalasnya dengan senyuman tujuh sentimeter panjangnya. Lalu, aku menyimpulkan
untuk menamakannya “cinta”.
Hari Rabu, minggu kedua
pada September. Pertama kali kulihat dirimu. Tak ada yang istimewa memang,
namun begitu mengena dan terkenang di hati. Hari demi hari, tak terduga kita
bertemu lagi. Apakah kau menyadarinya? Merasakan tatapanku? Aku ingat waktu
pertama kali kita bertemu, kau memakai cardigan berwarna pink dan aku suka itu.
Di pertemuan kita yang kedua, aku ingat kau memakai kaos klub bola Manchester
United dan aku suka itu. Di kali ketiga, kita tak saling bertemu, tapi aku
melihatmu. Aku melihatmu dari kejauhan, kuingat waktu itu kau sedang
bercengkrama dengan laptopmu, kupikir kau sedang mengerjakan tugas dan kuingat
kau memakai kaos berwarna kuning waktu itu.
Aku ingat semuanya …
Aku pikir-pikir ternyata
kau hebat juga yah, kau berhasil menyita dua pertiga waktuku dalam dua puluh
empat jam hanya untuk memikirkanmu. Pernah disuatu malam, aku benar-benar
terpuruk karena tak bisa berhenti memikirkanmu. Bayangmu begitu kuat menempel
dalam relungku. Aku hancur, aku hancur ketika aku menyadari bahwa aku belum
tahu siapa namamu. Sejujurnya, aku lelah untuk lebih lama lagi menunggu untuk
tahu siapa namamu. Perasaan apakah ini? Apakah cinta? Ah, ini bukan cinta. Kau
tak melakukan apa-apa, bagaimana aku bisa cinta kau? Apakah ini hanya
ketertarikan pada fisik semata? Ah kurasa juga tidak, disekitarku tersebar
banyak gadis cantik melebihi artis mancanegara, tapi aku bingung kenapa kau lah
yang berhasil ku rekam. Aku sulit mencernanya dengan logika-ku.
Perasaan ini semakin membunuhku
ketika kita semakin sering berjumpa sedangkan nyawaku untuk sekedar bertanya
siapa namamu tak kunjung dating. Aku terlalu bodoh, bahkan untuk sekedar
mengikuti kata hatiku. Logika-ku berkata “Hei ! ini hanya kenalan, bukan hendak
melamar, masa tak berani?”. Tapi lagi-lagi kenyataan menunjukkan bahwa memang
aku tak berani untuk sekedar berkenalan. Sejauh ini aku hanya mampu menatapmu
dari radius seratus meter, selebihnya dari itu aku tak mampu. Kata orang, cinta
itu tak bisa menunggu. Tapi kata orang juga, jangan gegabah dalam bertindak.
Aku semakin bingung dalam menafsirkan antara keberanian dan kenekatan. Jika aku
berani, mungkin aku akan tahu siapa namamu, kalau aku nekat mungkin bisa jadi
aku malah gegabah dan malah bertindak konyol didepanmu, dan itu bisa membunuhku
dalam hitungan detik. Aku perlu tahu apakah ini sebuah perasaan cinta, atau
hanya perasaan suka yang bisa dengan mudah pudar. Entahlah, yang jelas dibalik
semua perasaan ini aku takut tak mampu benar-benar untuk mencinta …